Langsung ke konten utama

PUBLIC SPEAKING


PUBLIC SPEAKING


Hornby dan Parnwell (1961; 364) mengartikan istilah “retorika” sebagai seni penggunaan kata-kata secara mengesankan, baik lisan maupun tulisan, atau berbicara dengan menggunakan pertunjukan dan rekaan di depan orang banyak. Dengan penekanan pada aspek seni, retorika jelas berbeda dengan bentuk atau cara berbicara lainnya. Dalam hal ini, berbicara dengan menggunakan seni mengandung maksud agar cara berbicara lebih menarik (atraktif), bernilai informasi (informatif), menghibur (rekreatif), dan berpengaruh (persuasif). Batasan pengertian di atas, memiliki kesamaan arti dengan istilah public speaking yang oleh Carnegie (Syamsudin : 4) dinyatakan mengandung makna berbicara atau berpidato di depan umum berdasarkan prinsip yang menggunakan teknik dan strategi komunikasi agar berhasil memengaruhi khalayak orang banyak.
Apakah pengertian “retorika” dan “public speaking” tersebut sama? Jika ditelusuri secara mendalam, terutama dengan memperhatikan kedua istilah tersebut melalui prakteknya, ternyata “retorika” menurut Hornby dan Parnwell mengandung pengertian yang lebih luas jika dibandingkan dengan “public speaking”.
Menurut Suhandang (2009; 26), dalam retorika terkandung kegiatan penyampaian pesan secara lisan dan tertulis, sedangkan dalam public speaking hanya terkandung kegiatan berbicara di depan publik. Oleh karena itu, metode komunikasi yang bisa digunakan dalam aktivitas praktis retorika, tentu saja tidak hanya bersifat auditif, melainkan juga bisa menggunakan metode komunikasi yang bersifat visual dan audio visual.
Sehubungan dengan bahasa, Brooks dan Warren (1970; 6) menjelaskan bahwa retorika merupakan seni penggunaan bahasa secara efektif. Oleh sebab itu, pada awalnya retorika memang diartikan sebagai kesenian untuk berbicara yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis (Hendrikus, 1991;14).
Aspek “memengaruhi” yang dilakukan melalui persuasi, juga memberikan kekuatan lain sehingga retorika berbeda dengan pembicaraan biasa. Kekuatan yang dimaksud terletak pada sifat ilmiah yang terkandung dalam retorika sehingga pengaruh yang disampaikan dapat dilakukan secara ilmiah pula. Pandangan Golden (1983;13), yang menyatakan bahwa retorika merupakan studi tentang bagaimana seseorang memengaruhi orang lain untuk membuat pilihan secara bebas.
Dalam ilmu komunikasi, retorika dan public speaking tidak terlalu dibedakan pengertiannya. Beberapa pendapat dikemukakan sebagai berikut
a)      Public speaking atau retorika adalah suatu komunikasi tempat komunikator berhadapan langsung dengan massa atau berhadapan dengan komunikan atau audiens. Public speaking atau retorika dibedakan dengan komunikasi massa. Alasannya komunikasi massa adalah jenis komunikasi yang menggunakan media massa, sedang public speaking atau retorika adalah komunikasi langsung dengan massa.
b)      Public speaking atau retorika digolongkan pada komunikasi massa. Alasannya bahwa public speaking atau retorika harus dibedakan dengan pidato-pidato lain. Public speaking adalah bentuk komunikasi berupa pembicaraan yang diucapkan seseorang di depan orang banyak/massa mengenai sesuatu masalah sosial. Public speaking atau retorika mempunyai ciri-ciri khusus, yakni public speaking harus diucapkan di depan orang banyak/massa; yang menjadi topik dalam pembicaraan adalah menyangkut orang banyak, menyangkut masalah sosial.
c)      Tujuan public speaking atau retorika digunakan untuk menyadarkan dan membangkitkan orang banyak atau mengenai masalah sosial sehingga tidak perlu digunakan suatu uraian ilmiah rasional. Tujuan retorika terutama berusaha mempengaruhi audiens atau komunikan. Yang perlu diperhatikan ialah retorika merupakan teknik pemakaian bahasa secara efektif yang berarti keterampilan atau kemahiran dalam memilih kata-kata yang dapat mempengaruhi komunikan sesuai dengan kondisi dan situasi komunikan tersebut.
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, pengertian retorika juga berkembang dan terumuskan dalam berbagai bentuk pengertian sesuai dengan beragamnya latar belakang keilmuan para ahli yang mengartikan retorika. Pengertian retorika dalam dewasa ini mencakup beberapa hal (Aly, 1994:5), yaitu: prinsip-prinsip mengenai komposisi yang persuasif dan efektif sertaketrampilan yang harus dimiliki oleh seorangahli pidato (orator); prinsip-prinsip mengenai komposisi prosa pada umumnya (secara lisan atau tertulis dan fiktif atau ilmiah); kumpulan ajaran teoretis mengenai seni komposisi verbal (prosa atau puisi) beserta cara-cara yang dipergunakan dalam prosa atau puisi.  Sementara itu, Hendrikus (2000:14) memberi pengertian sebagai berikut.
a)      Retorika sebagai kesenian untuk berbicara baik yang dipergunakan dalam proses komunikasi antarmanusia. Kesenian berbicara baik ini bukan berarti berbicara lancar tanpa pikiran yang jelas dan berisi melainkan kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat, dan mengesankan
b)       Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran, kesenian, dan kesanggupan berbicara. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat, dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat.
c)      Dalam bahasa percakapan atau popular, retorika berarti pada tempat yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata-kata yang tepat, benar, dan mengesankan. Artinya, orang harus dapat berbicara jelas, singkat, dan efektif. Jelas supaya mudah dimengerti, singkat untuk menghemat waktu, dan efektif memiliki pengaruh atau efek pada khalayak.

Kegunaan mempelajari retorika berdasarkan aspek pemanfaatannya dapat ditelusuri dengan memperhatikan manfaat retorika yang secara panjang lebar dan cukup terinci diungkapkan oleh Suhandang (2009; 48-50) sebagai berikut.


a)      Cakap Berpidato
Fakta menunjukkan bahwa dengan mempelajari retorika, seseorang akan memiliki kemampuan untuk mampu meningkatkan kecakapan dalam berpidato. Dengan mempelajari retorika, akan diperoleh kecakapan, yakin dan efektif dalam teori dan praktik berpidato. Sebaliknya sebagai pendengar, mempelajari retorika berguna untuk membangun kesadaran diri untuk menjadi pendengar yang lebih efektif, lebih terbuka dan kritis, serta pandai dalam membeda-bedakan.
Lebih penting dari itu, sebagai pendengar, melalui pelajaran retorika akan membangkitkan rasa empati, mampu secara cerdas dalam berkomunikasi secara kritis di depan umum. Dengan bersikap kritis yang dibangun atas landasan retorika, seseorang juga akan berwawasan luas dan termotivasi untuk mengembangkan seni berpidato, meningkatkan kecerdasan dalam mengajukan kritik yang bersifat konstruktif.
Kemahiran berpidato bukanlah sebuah bakat yang terbawa dari lahir, tetapi hal itu dapat dengan secara ilmiah diperoleh. Melalui studi dan kajian sistematik serta didukung oleh latihan, seseorang dapat menjadi pembicara ulung. Karena itu dapat dilihat terdapat beberapa orang memiliki kemampuan berbicara yang sangat hebat, sementara yang lain tidak memilikinya. Namun demikian, bagaimanapun cerdasnya seseorang, jika tidak sering melakukan latihan yang tepat, maka sulit untuk menjadi pembicara yang baik.
b)     Mempertinggi Kecakapan Akademis dan Profesionalisme
Belajar retorika pada hakikatnya mempelajari pelbagai kecakapan pokok secara luas, tidak terbatas hanya pada belajar berpidato. Kecakapan yang dimaksud akan memperkaya wahana kehidupan secara akademik maupun profesional. Misalnya, kepandaian meneliti bahan pidato akan berguna bagi seluruh kegiatan akademik.           
Demikian pula kecakapan memacu argumentasi yang logis, memahami motivasi kemanusiaan dan kepandaian menggunakan wawasan di pelbagai pertemuan persuasif, kualitas gaya yang efektif serta bagaimana menggunakannya dalam segala kesempatan berkomunikasi, unsur-unsur kredibilitas dan bagaimana membuat seseorang untuk lebih efektif serta persuasif dalam pelbagai interaksi, merupakan kecakapan tambahan yang akan diperoleh guna mengembangkan pertumbuhan pendidikan diri yang sangat berharga.
c)      Kecakapan Diri dan Sosial
Diketahui bahwa orang-orang yang berfungsi efektif dalam lingkungan akademis mungkin tampak janggal dalam kehidupan sosial maupun personalnya. Mungkin mereka mahir dalam masalah ekonomi, menguasai komputer atau matematika, namun kecakapan dalam berinteraksi dan penyesuaian dengan lingkungan sosialnya terasa kurang. Dalam retorika tidak hanya sekadar kemampuan menguasai materi dalam sosiologi, geologi, atau bahasa semata namun dituntut untuk mampu menerapkan dan menggunakan materi yang dimaksud, serta menjadikannya pelengkap pada komunikasi yang dilakukan.
d)     Kecakapan dalam Pemeliharaan Kebebasan dan Keterbukaan Masyarakat
Masyarakat selalu ditunjang dan berkembang berkat komunikasi yang bebas dan terbuka. Sejarah mengajarkan bahwa apabila komunikasi dibatasi, maka orang-orang akan menghilang. Komunikasi memang jarang terjadi, namun jika dilakukan terus-menerus pun akan terbatas pada orang-orang tertentu saja. Terbatas pada mereka yang akan berusaha meraih dan memegang kekuasaan dengan cara mengorbankan orang lain.           
Seperti para pemimpin berpendidikan menyatakan bahwa untuk bisa berperan di masa yang akan datang memang perlu memiliki kecakapan berkomunikasi sehingga mampu memelihara nilai-nilai dalam masyarakat yang bebas dan terbuka. Kepandaian demikian ini dapat dipakai oleh para pembicara dengan memperhatikan penggunaan pesan sedemikian rupa sehingga bisa dimengerti dan diterima oleh para audiensnya. Dalam keadaan demikian audiens akan menilai serta menganalisa ide dan argumentasi yang dihadapi sebelum menentukan keputusan.
Demikian pula para pembicara perlu untuk memperhatikan kritik terhadap penilaiannya, serta mempertimbangkan pemikiran dan selera pelbagai publik yang berkomunikasi. Kebanyakan sikap manusia selaku pembicara di depan umum lebih menghendaki berbicara bebas, dukungan yang dirasakan akan disetujui, dan pertentangan yang dirasakan akan dilawan. Karena itu dalam mempelajari retorika, yang sangat penting adalah berusaha mengembangkannya untuk bisa menjadi seorang pemimpin yang efektif.
Catatan sejarah, sebagaimana dikutip dari tulisan Hallo (2004; 25-46), menunjukkan bahwa retorika berasal dari peradaban Mesopotamia. Binkley (2004; 47-64) menyatakan bahwa beberapa bukti berupa karya-karya tulis yang mengandung retorika dari peradaban Mesopotamia tersebut dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Akkadian dari para pangeran dan pendeta Enheduanna (2285-2250 SM). Sedangkan menurut Hoskisson dan Boswell (2004; 65-78), contoh-contoh karya retorika yang muncul dalam era Kerajaan Assyrian Baru, terutama pada periode pemerintahan Sennacherib (704-681 SM), juga dapat dijadikan sebagai bukti sejarah bagi asal-usul retorika dari peradaban Mesopotamia.
Di Mesir Kuno, retorika juga telah dikenal setidak-tidaknya pada pertengahan era kerajaan (2080-1640 SM). Orang Mesir berpandangan bahwa “berbicara secara mengesankan” adalah nilai yang patut dijunjung tinggi. Dalam “Aturan Retorika Mesir” ditekankan berlakunya sebuah norma yang berbunyi; “mengetahui waktu yang tepat untuk tidak berbicara itu penting dan sangat dihormati”. Pengetahuan tersebut selanjutnya dijadikan sebagai ukuran bagi tingkat pemahaman seseorang terhadap retorika.
Berdasarkan aturan tersebut, retorika bagi masyarakat Mesir Kuno memiliki arti yang sangat fundamental dalam membentuk sikap bijaksana seseorang. Dengan kata lain, melalui retorika, seseorang memperoleh tuntunan untuk menyeimbangkan gaya bicaranya dengan sikap berdiam diri. Singkatnya, menurut “Aturan Retorika Mesir”, keterampilan berbicara harus dapat menopang perkembangan kehidupan masyarakat (Hutto, 2002; 213-233).
Bagi masyarakat China Kuno, retorika tidak dapat dipisahkan dari jasa seorang filosof bernama Konfusius (551-479 SM) beserta para muridnya. Berkat jasa mereka, maka berbicara secara mengesankan dipandang penting dalam tradisi Konfusianisme (Xu, 2004; 115-130). Demikian pula, penggunaan retorika yang dimaksudkan sebagai penopang kehidupan, khususnya bagi kegiatan keagamaan, dapat ditemukan dalam tradisi umat Kristiani (Metzger, 2004; 165-82).
Adapun di Yunani, pada abad ke-5 SM, masyarakat memahami retorika sebagai sebuah studi, telaah ataupun analisis yang mengandung ajaran tentang berbicara secara menarik. Retorika bagi masyarakat Yunani merupakan pelajaran yang mengandung seni berpidato. Tokoh pendiri pertama studi, telaah dan analisis tersebut adalah Corax dari Sirakusa (500 SM) yang dituangkan melalui karya tulisnya berjudul Techne Logon (seni kata-kata).
Corax menguraikan “teknik kemungkinan” yang berisi pesan bahwa “bila kita tidak bisa memastikan sesuatu, mulailah dengan memikirkan kemungkinan umum”. Misalnya, seseorang yang kaya diajukan ke pengadilan untuk yang pertama kalinya karena mencuri. Menghadapi kasus sebagaimana dicontohkan tersebut, maka melalui teknik kemungkinan, pertanyaan yang patut dipikirkan jawabnya adalah “Mungkinkah seseorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri?” (Suhandang, 2009; 35-36).
Melalui uraiannya tentang teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar yang secara sistematik dapat digunakan dalam menyusun bahan pidato. Menurut Corax, suatu pidato terdiri atas lima bagian adalah sebagai berikut.
1)      Poem atau pengantar dari pidato yang akan disampaikan.
2)      Diegesis atau Naratio sebagai bagian yang mengandung uraian tentang pokok persoalan yang akan disampaikan.
3)      Agon atau argument sebagai bagian yang mengemukakan validitas-validitas mengenai pokok persoalan yang disampaikan.
4)      Parekbasis atau diregsio sebagai catatan pelengkap yang mengemukakan keterangan-keterangan lainnya yang dianggap perlu;
5)      Peroratio atau bagian penutup pidato yang merupakan simpulan dan saran.
Sejak awal perkembangannya di Yunani Kuno dahulu, retorika diartikan secara berbeda-beda. Hal pertama dari perbedaan itu menyangkut pemakaian unsur stalistika atau gaya menggunakan bahasa; apakah stalistika perlu dipergunakan dalam berpidato, apa manfaatnya, apa kelebihan atau kekurangannya. Hal kedua menyangkut relasi atau masalah hubungan antara retorika dan moral; apakah dalam pidato harus diindahkan masalah moral, etika bahasa, penyampaian kebenaran beserta bukti atau validitasnya. Hal ketiga menyangkut masalah pendidikan; apakah tingkat pendidikan berpengaruh secara signifikan terhadap retorika dalam upaya meningkatkan moralitas atau tanggung jawab moral seseorang.
Tokoh yang tidak kalah penting pengaruhnya, terutama bagi perkembangan awal retorika di Yunani adalah Aristotoles (384-332 SM). Melalui karyanya berjudul “the Five Canons of Rhetoric”, Aristoteles mengemukakan pengertian tentang lima tahap penyusunan pidato atau argumen, yaitu:
Inventio atau heuresis (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi (secara harfiah; pembujukan) yang paling tepat.
1)      Dispositio atau taxis atau oikonomia (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan.
2)      Elocutio atau lexis (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata (diksi) dan menggunakan bahasa yang baik dan tepat untuk mengemas pesan tersebut.
3)      Memoria (memori). Pada tahap ini pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikan dan yang dikemukakannya, dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya.
4)      Pronuntiatio, aclio atau hypokrisis (penyampaian dan penyajian). Pada tahap ini, pembicara menyampaikan pesannya secara lisan.
Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, teori Aristoteles dapat dikatakan telah memberikan dasar-dasar teoretis yang kokoh bagi retorika, dan pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif mengenai retorika berhasil membungkam para ahli retorika generasi sesudah Aristoteles.
Retorika modern ditandai dengan muncul-nya renaissance atau abad pencerahan sekitar tahun 1200-an. Menurut Jalaluddin Rahmat, ada tiga aliran retorika modern.
a)      Aliran Epistemologis. Epistemologis membahas teori pengetahuan, asal usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Pemikiran epistemologis berusaha mengkaji retorikaklasik dalam sorotan perkembangan psikologikognitif, yakni yang membahas proses men-tal. Tokoh-tokoh aliran epistemologis ini diantaranya: (1) Roger Bacon yang menekankan retorika pada penggunaan rasio dan imajinas iuntuk menggerakkan kemauan secara lebih baik. Rasio, imajinasi, dan kemauan merupa-kan kajian psikologis yang mendapat perhatiandari ahli retorika modern. (2) George Campbell yang menjelaskan perilaku manusia dalam empat tataran, yakni pemahaman, memori, imajinasi, perasaan, dan kemauan. Retorika diarahkan pada upaya mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan. (3) Richard Whately yang memusatkan perhatian pada argumentasi sebagai fokus retorika. Bagi beliau, retorika harus mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan mengorganisasikannya secara baik. Oleh karena itu, menelaah proses berpikir khalayak sangat penting.
b)       Aliran Belles LettresBelles. Lettres maksudnya dalam bahasa Prancis adalah tulisan yang indah. Retorika Belletris sangat mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang mengabaikan segi informatifnya. Tokoh aliran ini adalah Hugh Blair yang menulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Ia menghubungkan antara retorika, sastra, dan kritik sehingga memunculkan kajian cita rasa (taste) yakni kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apapun yang indah. Anda akan senang melihat music dan tarian yang indah, pemandangan yang indah pidato yang indah. Citarasa ini akan mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan indrawi dipadukan dengan rasio. Rasio lah yang menjelaskan sumber-sumber kenikmatan. Baik aliran epistemologis maupun bellesletters memusatkan perhatian pada persiapan pidato yang meliputi penyusunan pesandan penggunaan bahasa.
c)      Aliran elokusionis. Aliran ini menekankan teknik penyampaian pidato. Tokohnya Gilbert Austin. Ia memberi petunjuk praktis penyampaian pidato, yaitu pembicara tidak boleh melantur, mengarahkan matanya langsung kepada pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan mengeluarkan suaranya sedikit saja. Hal ini perlu dilakukan untuk mendiamkan gumaman orang dan untuk menarik perhatian mereka.
Gerakan elokusionis banyak dikritik karena berlebihan pada persoalan teknik ,sehingga pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara spontan. Gerakannya menjadi semu.
Pada abad ke-20, retorika mengambi lmanfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern, khususnya ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun bergeser menjadi speech, speech communication atau oral communication atau public speaking.
Adapun tokoh retorika  abad ini diantaranya  (1) James A Winans yang menggunakan psikologi modern dalam pidatonya. Ia menyarankan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologis pada khalayak seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial, dan kewajiban agama. Winans menekankan pada cara berpidato yang bersifat percakapan dan pemahaman terhadap teknik-teknik penyampaian pidato. (2) Charles Henry Woolbert yang memandang speech communication sebagai ilmu tingkah laku. Proses penyusunan pidato adalah kegiatan pengorganisasian. Pandangan Woolbert tentang pidato adalah bahwa pidato merupakan ungkapan kepribadian; logika adalah dasar utama persuasi; penyusunan persiapan pidato harus teliti tujuannya, mengetahui khalayak dan situasinya, menentukan  proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut, memilih kalimat-kalimat yang dipertalikan secara logis. (3) William Norwood Brigance  yang menekankan pada fakto rkeinginan sebagai dasar persuasi. Ada empat unsur persuasi yang mendapat perhatiannya, yaitu rebut perhatian pendengar, usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter anda, pikirkan keinginan audiens, kembangkanlah setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar.
Dalam proses menjadi pembicara public yang baik, ada beberapa syarat atau modal utama yang harus diperhatikan oleh seorang public speaker yaitu Melatih Mental. Ini menjadi penting ketika kita menjadi seorang pembicara public karena ini yang akan membentuk karakter kita dalam perjalanan kita menjadi pembicara public yang handal. Bagaimana caranya?
Caranya yaitu dengan menerima diri kita seratus persen atau menerima diri kita sepenuhnya dengan kata lain kita harus menumbuhkan sikap percaya diri. Kalau kita tidak percaya dengan diri kita, bagaimana mungkin orang lain akan yakin atau percaya dengan apa yang kita sampaikan. Beri apresiasi positif terhadap diri kita, ini akan menjadi motivasi dan dampak yang bagus untuk kita dalam menyampaikan pendapat kita.
Dalam buku yang ditulis oleh Michael J. Losier yang berjudul The Law Of Attraction (Hukum Ketertarikan) dijelaskan bahwa apabila kita ingin mendapatkan efek yang positif dalam kehidupan kita maka kita juga harus memancarkan gelombang yang positif pula, karena prinsip dasar dari Hukum Ketertarikan adalah mengembalikan gelombang yang kita pancarkan dalam jumlah yang lebih besar ke diri kita, jadi apabila gelombang yang kita pancarkan atau kita ciptakan adalah gelombang  positif maka dampak yang akan kita terima adalah gelombang positif dalam jumlah yang lebih besar, begitu pula sebaliknya jika kita memancarkan gelombang negatif. Jadi apresiasi  positif sangat menentukan hasil akhir yang baik.
Selanjutnya buatlah koneksi yang luas, karena dengan kita berhubungan dengan orang  banyak maka kita akan mengetahui sifat-sifat orang yang berbeda-beda dan kompleks sehingga kita dapat menghadapi dengan cara yang tepat.

1)      Pengenalan Materi
Penguasaan materi sangat penting karena dengan menguasai materi maka ini akan membangun kredibilitas kita dalam penyampaian materi, ketidaksiapan dalam  penguasaan materi akan menurunkan tingkat kepercayaan audiens terhadap gagasan atai ide yang kita sampaikan. Semakin banyak informasi yang dapatkan maka akan semakin baik persiapan materinya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:
a)      Mengetahui informasi yang dibutuhkan.
b)      Mengetahui sumber informasi.
c)      Memilih beberapa informasi dari beberapa kumpulan yang telah didapatkan.
d)     Menyusun struktur materi.

2)      Pengenalan Tempat
Mengenali atau memahami tempat dimana kita akan menjadi pembicara publik sangat  penting karena ini menyangkut tentang budaya, kebiasaan, perilaku, atau gaya hidup dari masyarakat disekitarnya.dengan mengenali tempat yang akan kita kunjungi, maka ini akan mengurangi resiko kesalahan dalam berkomunikasi. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain:
a)      Hadir sekurang-kurangnya satu jam sebelum acara dimulai untuk melihat kondisi fisik secara keseluruhan.
b)      Pastikan posisi saat akan berbicara.
c)      Perhatikan outdoor atau indoor.
d)     Perhatikan syarat kebutuhan anda untuk berbicara, seperti kelengkapan audio visual.

3)      Pengenalan Audiens
Mengenal audiens juga penting karena ini menyangkut tentang gaya bahasa macam apa yang akan kita gunakan agar tujuan komunikasi kita dapat tercapai, sehingga audiens dapat merasakan manfaat dari apa yang kita sampaikan.
4)      Penampilan Fisik
Penampilan seorang public speaking sangat penting karena itu menghadirkan kesan  pertama dari orang tersebut. Penampilan yang baik akan mengesankan kredibilitas, serta image yang baik pula, begitu pula sebaliknya sehingga penampilan yang baik merupakan harga mati bagi seorang public speaker. Maka dari itu, banyak hal yang harus diperhatikan secara mendetil, antara lain:
a)      Kerapian, kebersihan, dan kesesuaian pakaian
b)      Kenampakan fisik saat tampil, seperti
c)      Berdiri santai tetapi tegap
d)     Kaki harus rapi dan terlihat sopan
e)      Keadaan tangan santai dan dapat melakukan gerakan yang  seproporsional mungkin
f)       Wajah terlihat meyakinkan tetapi tidak tegang

            Untuk menjadi pembicara yang menarik dan dapat memberikan pengaruh bagi pendengar, diperlukan teknik-teknik public speaking,antara lain:
1)      Pembukaan yang menarik
            Pembukaan adalah impresi pertama, artinya hal itu dapat mempengaruhi pandangan audiens terhadap public speaker selama presentasi. Sesingkat apapun waktu untuk melakukan presentasi, pembukaan tetaplah harus penuh kehangatan. Pembukaan dapat dilakukan dengan sebuah ilustrasi atau cerita yang sedang marak, tetapi relevan dengan topik pembiaraan. Saat menyampaikannya, tunjukkan wajah yang bersahabat, ramah, dan dekat.
2)      Gunakan Joke
            Humor kemungkinan mengandung resiko. Hal ini dikarenakan oleh sifatnya yang universal, sedangkan selera tiap individu sanagt personal dan individual. Tetapi, meskipun mengandung resiko humor yang baik dapat menjadi awal yang efektif untuk mencari perhatian para pendengar. Bahan-bahan joke sangat luas, karena dapat diambil dari berbagai cerita, kasus sehari-hari, gambar iklan, pengalaman orang lain, hasil riset, dan sebagainya.
3)      Teknik Vokal
            Penyampaian vokal yang baik didapatkan apabila seorang public speaking menguasai tiga hal berikut:
4)      Pernapasan
            Posisi yang baik untuk mengontrol pernapasan adalah berdiri tegak agar memberikan ruang yang lebih baik kepada paru-paru. Untuk berbicara di depan publik, diperlukan ruang suara yang solid agar dapat menyampaikan kalimat yang panjang pada volume suara yang benar.
5)      Volume
            Keberhasilan dalam berbicara tidak selalu ditentukan oleh kerasnya suara. Volume suara ketika berbicara di depan publik hanya sedikit lebih keras dari volume berbicara sehari-hari. Berbicara dengan volume keras hanya diperlukan pada bagian-bagian tertentu saja. Selebihnya, berbicara keras terlalu sering dapat menyebabkan tenggorokan rusak dan audiens pun bosan.
6)      Ekspresi vokal
            Ekspresi adalah faktor penting dalam pengolahan suara. Suara yang baik akan lebih berarti jika disertai dengan ekspresi yang tepat. Ekspresi terdiri dari tiga komponen, yaitu: a) pitch, faktor tinggi rendahnya suara, b) pace, faktor kecepatan berbicara, c) phrasing, faktor kecakapan memenggal kalimat, dan disertai dengan jeda.
Tidak sedikit pembicara publik yang mempunya masalah ketika akan tampil di depan audiens, rata-rata dari mereka mengalami hal yang sama diantaranya :
1)      Gugup / Nervous
Sikap ini biasanya timbul ketika jam terbang dari pembicara yang tidak terlalu banyak atau dengan kata lain pengalaman tampil di depan umum yang masih sedikit.sehingga menimbukan rasa ketakutan akan kesalahan yang berlebihan. Untuk menghindari ini dapat di lakukan trik pemanasan diawal seperti senam muka, meminum air putih yang cukup agar otak bisa merasakan fresh, ketika sudah tampil hal ini dapat diatasi dengan mengambil nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya dalam beberapa detik.
2)      Blank
Ini merupakan efek dari gugup / nervous, kurang latihan, & kurang tenang . untuk mengatasinya bisa dilakukan dengan cara lebih banyak latihan di awal sebelum tampil, bersikap tenang.
3)      Tidak Diperhatikan
Biasanya audiens akan merasa malas untuk memperhatikan ketika pembicara mebicarakan hal-hal yang tidak penting untuk audiens atau audiens merasa bosan dengan materi yang disampaikan. Untuk menghindari itu cobalah mencari ilustrasi-ilustrasi yag menarik atau humor-humor ringan untuk menyegarkan suasana.
4)      Slide Presentasi yang Tidak Menarik
Slide presentasi merupakan salah satu sarana untuk membantu pembicara dalam menjelaskan ide atau gagasan yang akan disampaikan dalam bentuk visual, sehingga akan memudahkan audiens dalam memahami gagasan atau ide yang disampaikan oleh  pembicara. Maka dari itu perlu dibuat slide presentasi yang menarik.
5)      Memaksakan mengisi pembicaraan
Ketika seorang pembicara mengalami blank maka kebiasaan sebagian orang akan memaksakan untuk berbicara padahal isi materi yang akan disampaikan lupa, sehingga akan menghasilkan kata-kata yang tidak ada hubungannya dengan materi yang seharusnya dibahas. Untuk itu jika kita mengalami hal ini maka bersikaplah dengan wajar, santai, dan ambillah break sejenak untuk mengembalikan ingatan kita

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANAJEMEN OPINI DALAM OPINI PUBLIK

MANAJEMEN OPINI DALAM OPINI PUBLIK A.      Hakikat Opini Publik Istilah opini publik berasal dari public opinion (bahasa Inggris), kemudian diterjemahkan menjadi istilah pendapat umum. Dalam aktivitas public relations yang menyangkut pendapat umum (opini publik) tersebut merupakan aspek yang penting untuk keberhasilan menciptakan opini publik positif dan pada akhirnya akan tercipta suatu citra yang baik bagi lembaga atau organisasi yang menjadi tanggung jawabnya (Ruslan, 2007: 43). Drs. Djafar H. Assegaff mengatakan istilah ‘pendapat umum’ merupakan terjemahan dari opini publik (public opinion)   kurang tepat, yang tepat adalah opini publik (Ruslan, 2007: 43). Menurutnya, keduanya memang memiliki arti yang sama, akan tetapi sebaiknya menggunakan istilah “publik” karena secara umum mempunyai konotasi sempit dan spesifik yang merupakan sekumpulan individu-individu yang terikat ikatan solidaritas tertentu. Sedangkan kata “umum” menunjukkan yang lebih luas dan tidak spesifik pada

PR WRITING

PRODUK-PRODUK PENULISAN PUBLIC RELATIONS 1.1. Press Release             Press Release atau siaran pers menurut Soemirat dan Ardianto (2004) adalah informasi dalam bentuk berita yang dibuat oleh Public Relations (PR) suatu organisasi/ perusahaan yang disampaikan kepada pengelola pers/ redaksi media massa (tv, radio, media cetak, media online) untuk dipublikasikan dalam media massa tersebut.             Pengertian dari Press Release menurut Effendy adalah "Bahan berita yang dikirimkan pihak instansi atau organisasi, biasanya biasanya dikerjakan oleh bagian Humas ke media massa dengan harapan dapat disiarkan" (Effendy, 1898 : 80). Press Release atau siaran pers biasanya hanya berupa lembaran siaran berita yang disampaikan kepada wartawan atau media massa. (Abdullah, 2004 : 80).             Siaran pers tentu saja tidak hanya dikirimkan ke media massa, melainkan diharapkan dapat dipublikasikan. Merupakan sebuah prestasi bagi seorang PR apabila siaran pers yang dibuatnya